Translate

Monday 30 April 2012

Telaah Kritis Konsep Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dipungkiri telah membawa kemudahan baik dari sisi efektivitas maupun efisiensi kinerja manusia. Berbagai piranti, mulai dari rekayasa mekanika hingga perangkat lunak berupa program-program komputer telah mewarnai perkembangan dunia iptek. Maraknya penelitian di dunia iptek ini pun selanjutnya mulai tidak terpisahkan dengan dunia industri. Bahkan pada beberapa negara, perindustrian berbasis riset menjadi sumber pemasukan yang cukup besar suatu negara.
Seiring dengan berjalannya waktu, pompa perekonomian yang berbasis perkembangan riset iptek kemudian tidak hanya mengandalkan pendapatan dari sisi penjualan produk hasil riset. Regulasi atas setiap hasil riset – baik berupa produk atau pemikiran – pun juga menjadi lahan pendapatan. Salah satu regulasi utama terkait dengan perkembangan penemuan di bidang iptek ini adalah konsep Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI).

Sejarah Kemunculan Konsep Hak Cipta (Copyright)
Bangsa yang pertama kali menekankan pada pencantuman pemilik atau penemu atas barang temuannya adalah bangsa Yunani kuno dan imperium Romawi. Meskipun demikian, mereka belum membahasnya sampai hak-hak ekonomi bagi para penemunya. Hal ini berlangsung hingga ditemukannya mesin percetakan pada abad ke-15, yang selanjutnya mulai dipikirkan perlunya perlindungan hak cipta. Penggandaan naskah-naskah pada masa itu kebanyakan dilakukan oleh kaum gereja atas pesanan lingkungan kerajaan di Eropa. Hanya pihak-pihak masyarakat tertentu saja yang memiliki akses atas naskah-naskah ini.

Piagam Perizinan Tahun 1662
Kemampuan untuk mencetak buku-buku dengan biaya yang lebih murah mulai memarakkan isu pembajakan. Seiring dengan bertambahnya jumlah percetakan di Inggris, Raja kemudian mengeluarkan hak istimewanya untuk mengatur perdagangan buku dan melindungi pencetaknya dari pembajakan. Inilah ketetapan pertama tentang pengendalian atas barang cetakan. Ketetapan ini dikenal dengan Licensing Act 1662. Piagam inilah yang membangun konsep pendaftaran (register) atas buku-buku berizin, bersama dengan kebutuhan untuk menyimpan suatu salinan buku untuk diizinkan. Tugas ini dijalankan oleh Stationer’s Company, yang diberi wewenang untuk menahan buku mencurigai berisi berbagai hal yang menyulut permusuhan dengan gereja atau pemerintah. Pada tahun 1681 Piagam Perizinan tersebut dicabut, dan peran Stationer’s Company dibenahi oleh hukum yang memberikan wewenang kepemilikan buku-buku terdaftar pada sejumlah anggotanya, agar mereka sendiri yang mengatur perdagangan buku cetakannya.

Undang-Undang Anne
Undang-undang Anne merupakan piagam Hak Cipta pertama di dunia. Piagam ini memperkenalkan dua konsep baru: pengarang sebagai pemilik hak cipta, dan prinsip mengikat tentang perlindungan atas hasil-hasil yang dipublikasikan. Piagam ini juga mengatur penyimpanan sebanyak sembilan cetakan atas suatu buku pada perpustakaan-perpustakaan tertentu suatu negara. Selain itu, penggunaan istilah perlindungan hak cipta juga diperluas untuk hasil-hasil pekerjaan lainnya.


Gambar 1. Statute of Anne.

Piagam Hak Cipta Internasional 1886 dan Konvensi Berne
Pada tahun 1857, Komisi Kerajaan Inggris mengusulkan bahwa piagam-piagam berikutnya harus dikodifikasikan, dan melangkah pada perjanjian hak cipta bilateral dengan Amerika. Hal ini dilakukan untuk menyediakan perlindungan timbal balik pengarang-pengarang Inggris dan AS. Conference of Powers kemudian digelar (menghasilkan kerangka Konvensi Berne bagi Perlindungan Hasil Kerja kajian dan Seni). Piagam 1886 ini menghapuskan permintaan untuk mendaftarkan hasil kerja asing dan memperkenalkan hak eksklusif untuk mengimpor atau memproduksi terjemahan-terjemahan. [PDF: Berne Convention]

Gambar 2. File: Joseph Ferdinand Keppler - The Pirate Publisher (Puck Magazine)


Gambar 3. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Berne.

Piagam Hak Cipta 1911
Pada 1 Juli 1912, Piagam Hak Cipta 1911 mulai berlaku. Piagam ini melakukan revisi dan meninjau ulang piagam-piagam sebelumnya. Perkembangan itu mencakup pengenalan tentang perluasan lebih lanjut atas istilah perlindungan, dan istilah hak cipta. Arsip, perforated rolls, rekaman suara, dan hasil arsitektur juga memperoleh perlindungan. Piagam ini juga menghapuskan kebutuhan untuk mendaftarkan hak cipta pada Stationer’s Hall (salah satu prinsip pokok Konvensi Berne), menghapuskan perlindungan hak cipta atas hasil pekerjaan yang tidak dipublikasikan. (Sumber: http://www.intellectual-property.gov.uk)

Konvensi Hak Cipta Dunia (Universal Copyright Convention, UCC)
UCC dibentuk oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai alternatif dari Konvensi Berne bagi negara-negara yang tidak menyetujui dengan aspek-aspek yang termaktub dalam Konvensi Berne, namun masih ingin berpartisipasi dalam perlindungan hak cipta multilateral. Negara-negara ini meliputi negara-negara berkembang, negara-negara bekas Uni Soviet. Negara-negara tersebut menilai bahwa Konvensi Berne menguntungkan pihak Barat. Meskipun demikian, Konvensi Berne juga menjadi bagian faksi dari UCC, sehingga hak ciptanya juga diakui negara-negara non konvensi Berne.

 Gambar 4. Presiden Eisenhower menandatangani UCC 1954.

Prinsip Dasar Konsep HaKI
Hak atas Kekayaan Intelektual adalah hak yang timbul dari suatu karya yang dihasilkan dengan menggunakan kemampuan intelektual manusia yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, manfaat yang dimaksud adalah nilai ekonomi dalam karya tersebut.
Dalam teknis pelaksanaanya, HaKI diklasifikasikan berdasarkan jenis pemakaian objek atau barangnya menjadi dua kategori : Industrial Property dan Hak Cipta (Copyright).

A. Industrial Property
Yang dimaksud dengan industrial property adalah semua benda hasil kreasi dan digunakan untuk tujuan industri atau komersial. Material yang termasuk dalam kategori ini adalah : Merk, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), PVT, Rahasia dagang, dan Paten.
a. Merk
Merek adalah suatu tanda yang berupa: gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.
b. Desain Industri
Adalah suatu kreasi bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
c. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)
Perlindungan Varietas Tanaman yang selanjutnya disingkat PVT, adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman , terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman. Obyek yang dilindungi dalam hal ini adalah hak kekayaan intelektual pemulia dalam menghasilkan varietas baru tanaman melalui kegiatan pemuliaan (Pemulia: yang berhak atas perlindungan, Varietas : subyek dari perlindungan). Hak PVT adalah menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.
d. Desain dan Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST)
Sirkuit Terpadu adalah produk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen untuk menghasilkan fungsi elektronik. Sedangkan Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen dalam suatu Sirkuit Terpadu yang dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu.
e. Rahasia Dagang
Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. Lingkup perlindungan dapat diberikan pada metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, daftar pelanggan, atau informasi lain di bidang teknologi dan atau bisnis.
Informasi dari bidang teknologi yang dapat dilindungi dengan sistem rahasia dagang mencakup : Metode Penjualan, Metode produksi, Komposisi ramuan.
f. Paten
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Dalam hal ini, inventor menjelaskan invensinya secara lengkap dalam bentuk dokumen yang dipublikasi sehingga orang lain tahu persis apa yang telah ditemukan oleh inventor. Sebagai imbalannya, pemerintah memberi hak monopoli untuk jangka waktu tertentu bagi inventor. Hak monopoli tersebut disebut sebagai paten.

Dalam rezim paten dikenal istilah pemilik dan pemegang paten. Inventor pada dasarnya adalah pemilik paten. Ia selanjutnya dapat memberikan hak pada pihak lain, yang dengannya pihak lain tersebut menjadi pemegang hak paten. Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada Inventor/ Pemegang Hak adalah : Melaksanakan sendiri Invensinya, Memberi persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya, dan Melarang pihak lain yang melaksanakan Invensinya tanpa hak.

B. Hak Cipta (Copyright)
Hak Cipta berarti hak untuk memperbanyak suatu ciptaan yang dalam praktiknya termasuk hak untuk mempublikasikan dan menyebarluaskan. Di AS, industri hak cipta mencapai 5,68% dari GDP , dan tumbuh dengan nilai sekitar lebih dari dua kali dari nilai pertumbuhan ekonomi AS keseluruhan. Di negara-negara berkembang lain, industri hak cipta mencapai 3 hingga 6% dari GDP.

Kapitalisme di Balik Konsep HaKI
Dengan memahami realitas konsep HaKI sejak kemunculannya hingga saat ini, setidaknya terdapat beberapa term cermin pola peradaban dengan adanya regulasi HaKI, meskipun secara teknis pelaksanaannya terkesan begitu kompleks dan administratif.

Pertama : Lemahnya pelayanan hak dasar masyarakat
Negara yang seharusnya bertanggung jawab dalam mengurusi segala kepentingan rakyat, termasuk di dalamnya menyediakan kemudahan dalam mengakses berbagai sumber ilmu pengetahuan – buku, publikasi, dsb. – justru memberikan jalan keluar berupa regulasi yang semakin mempersulit akses masyarakat. Regulasi dengan dalih mencegah pembajakan kemudian memberikan hak penuh pada penerbit sebagai pelaku utama (baca : memonopoli) tentu akan menambah sulitnya masyarakat menengah ke bawah. Jangankan masyarakat yang tidak mampu mengenyam pendidikan tinggi, para akademisi pun mengalami kesulitan mengakses pengetahuan baru (buku) lantaran konsep HaKI ini akibat tidak terjangkaunya harga buku ber‘register’.
Dengan diberikannya hak penuh distribusi hasil riset atau kajian yang termaktub dalam buku-buku kepada para penerbit, jelas akan mengganggu distribusi ilmu pengetahuan. Dapat dibayangkan bagi negara berkembang seperti Indonesia, dengan jumlah sebagian besar penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, tentu kebijakan ini dalam jangka panjang akan membunuh masa depan bangsa.

Kedua : Liberalisasi sektor publik
Sudah jamak diketahui, regulasi HaKI merupakan salah satu omzet pendapatan Negara. Di AS, dari tahun ke tahun industri hak cipta menjadi penyumbang pendapatan negara yang cukup besar.
Dengan dimilikinya lisensi untuk ‘mengamankan’ setiap jenis usahanya, kekuatan para pemilik modal akan semakin berlipat ganda. Pada akhirnya, aktivitas industri hak cipta ini tidak lebih dari sekedar siklus perekonomian kapitalisme.

Pengamatan yang lebih mendalam atas fakta konsep HaKI akan mengantarkan pada kita bahwa motivasi utama konsep ini adalah motif ekonomi, di mana sang ‘pemula’ lah yang berhak meraup keuntungan material sebesar-besarnya atas ‘usaha’ yang dia lakukan. Barangkali untuk mencapai penemuan tersebut ia hanya mengeluarkan sedikit tenaga dan waktu atau menggunakan metode yang umum namun belum pernah dilakukan oleh orang sebelumnya. Dengan kemunculan konsep HaKI ini, keuntungan yang diperolehnya akan mampu bertahan ‘selamanya’. Sungguh, aroma individualis khas Kapitalisme tampak di sini.

Beberapa argumen yang tampaknya ‘moralis’ seringkali juga dimunculkan untuk mendukung konsep HaKI ini, seperti isu plagiarisme atau penjiplakan atas hasil karya orang lain. Meskipun demikian, ujung-ujungnya adalah supaya orang lain tidak meraup keuntungan ekonomi dengan hasil jiplakannya tersebut.
Adapun terkait dengan dalih bahwa dengan regulasi HaKI akan mendorong inovasi masyarakat, maka dengan sendirinya hal ini menjadi blunder dengan penyelenggaraan sistem pendidikan – sebagai wahana distribusi iptek – ala Kapitalisme. Bagaimana mungkin anggota masyarakat dapat mengetahui perkembangan mutakhir penelitian – yang dengannya mampu memunculkan ide-ide baru – sedangkan di sisi lain terdapat pembatasan akses atas publikasi iptek ?

Mendudukkan Pemahaman Sains dan Teknologi Perspektif Islam
Adanya perkembangan penemuan-penemuan di dunia sains dan teknologi tidak terlepas dari keinginan masyarakat suatu bangsa untuk meningkatkan kualitas pemenuhan kebutuhan hidupnya. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup – baik secara individu maupun komunal – dengan cara yang lebih efektif dan efisien tidak terlepas dari motivasi perkembangan temuan dunia sains dan teknologi. Hal semacam ini juga dijumpai dalam dunia administrasi, seperti dunia perbankan, dan manajemen perkantoran. Kendati demikian, perkembangan di bidang sains dan teknologi maupun bidang-bidang lain sebenarnya hanya merupakan buah pemikiran yang dibangun atas suatu pemahaman (mafhum) tertentu.

Penelaahan lebih lanjut atas pemahaman-pemahaman (mafahim) yang membangun pemikiran (al fikr) akan mengantarkan kita pada dua kategori pemahaman: Pemahaman atas kehidupan (mafahim ‘an al hayah, perception of live) dan Pemahaman atas esensi kebendaan (mafahim ‘an al asya’, perception of essence of thing).
Gambar 5. Bagaimana sistem hukum buah pemahaman atas kehidupan mengatur produk dan inovasi?

Pemahaman atas kehidupan diawali dengan argumentasi yang diberikan oleh manusia sebagai bagian suatu komunitas atas pertanyaan mendasar dalam kehidupan: dari mana segalanya bermula, untuk apa ia berada di dunia, dan hendak ke mana akhir kesudahannya. Jawaban atas ketiganya akan menghasilkan tiga ideologi besar dunia: Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam. Kajian yang mendalam tentang pemahaman atas kehidupan ini memiliki potensi regulasi tata kehidupan manusia, sehingga muncullah berbagai sistem hukum yang dibangun di atas pemecahan permasalahan mendasar kehidupan.

Adapun yang dimaksud dengan pemahaman atas esensi kebendaan adalah kemampuan manusia untuk mencerap suatu fakta secara mendalam untuk mencapai suatu tujuan tertentu berdasarkan kondisi fakta tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah perkembangan riset di berbagai bidang, perkembangan ilmu manajemen, struktur administratif organisasi atau pemerintahan, serta kodifikasi perundangan. Oleh karena itu, pemikiran yang lahir dari pemahaman atas esensi ini bersifat universal, dan semata untuk meningkatkan kualitas hidup manusia atau bangsa.

Meskipun sebagian besar produk buah pemikiran manusia ini bersifat universal, terdapat di antaranya merupakan hasil interaksi antara ideologi ataupun agama tertentu. Sehingga penafian atas produk satu ideologi oleh ideologi lainnya seringkali terjadi. Islam, dengan konsep nashabnya, jelas menafikan penemuan teknologi kloning pada manusia dalam kehidupan.

Secara definitif, An Nabhani (2001) membedakan produk-produk yang dihasilkan oleh suatu peradaban dengan istilah hadharah untuk konsep atau pemikiran yang dihasilkan oleh pemahaman atas kehidupan, dan madaniyyah untuk segala sesuatu buah pemikiran yang dihasilkan oleh pemahaman atas kebendaan. Kendati sifat madaniyyah yang universal, sebelum mengambilnya, setidaknya umat Islam harus mengetahui asal kemunculannya.

Peradaban Islam dibangun sejak hadirnya Rasulullah Muhammad Saw. Beliau Saw telah meletakkan dasar-dasar konsep hadharah dan madaniyyah sebagai asas dalam membangun peradaban Islam. Terkait dengan penghukuman atas suatu fakta atau benda, beliau secara tegas menyampaikan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’ tanpa kompromi. Sedangkan universalitas madaniyyah beliau tunjukkan tatkala Negara Islam waktu itu membutuhkan riset teknologi persenjataan, di mana beliau memerintahkan sebagian sahabatnya untuk mempelajari pembuatan pedang di daerah Yaman. Beliau Saw menyatakan dalam perkara-perkara teknis:

kalian lebih mengetahui tentang perkara-perkara kalian”.

Hukum Dasar Pemanfaatan Alam bagi Kehidupan Manusia
Secara umum, di dalam al Qur’an Allah SWT telah menyatakan kemubahan manusia untuk memanfaatkan segala yang Dia ciptakan di muka bumi. Allah SWT berfirman :

Katakanlah : Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik. (TQS. Al A’raf : 32)
Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu. (TQS. Thaha : 81)
 

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (TQS. Al Baqarah : 267)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu. (TQS. Al Maidah : 87)

Dan makanlah yang halal lagi baik yang telah Allah berikan kepadamu. (TQS. Al Maidah 88)

Dengan demikian, segala pemikiran manusia terkait dengan pengelolaan alam untuk diperoleh manfaatnya bagi kehidupan manusia, pada dasarnya adalah perkara teknis yang setiap manusia dibolehkan mempergunakan caranya masing-masing sebelum datangnya pengharaman oleh nash syara’ atas teknis pemenuhannya tersebut. Pada masa Rasulullah SAW, teknik penanaman pohon kurma misalnya, Rasulullah pernah mengajari sahabat yang bertanya kepada beliau cara menanam kurma yang baik. Setelah dipraktekkan, justru tanaman tersebut mati. Beliau pun mempersilakan sahabat tersebut untuk memilih teknik lainnya.

Tampak bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan pembatasan informasi pengetahuan teknis pemanfaatan alam bagi kehidupan manusia. Beliau juga pernah mengutus sahabatnya untuk belajar pabrikasi senjata ke daerah Yaman. Beliau pun mengadopsi sistem stempel pada pengiriman setiap surat negara kepada raja-raja di Persia, Habsyah, dan Romawi. Jikalau saja setiap teknis yang dipakai seseorang kemudian menjadi sebuah ‘komoditi perdagangan’ tentu Rasulullah SAW tidak akan melakukan transfer ilmu pengetahuan pada para sahabat beliau.

Aktivitas teknis penerbitan al Qur’an dan kitab-kitab ilmu pengetahuan pada masa Khilafah juga menjadi sesuatu yang maklum dalam peradaban Islam. Fakta ini jelas berbeda dengan gereja pada masa imperium Romawi, yang membatasi akses buku-buku gereja bagi masyarakat umum. Allah SWT berfirman :   

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat. (TQS. Ali Imran: 180)

Rasulullah Saw juga menyatakan keharaman menyembunyikan ilmu agama, sebagaimana sabdanya:

Barangsiapa mengerti suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, maka Allah mengikatnya dengan suatu kendali dari api neraka. (THR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al Hakim, dari Abu Hurairah).

Pengelolaan Kekayaan Intelektual dalam Islam
a. Asas Pengembangan Iptek : Aqidah Islam
Penetapan aqidah Islam sebagai asas pengembangan iptek bukan berarti setiap ilmu pengetahuan harus bersumber dari syari’at Islam, sebab tidak semua ilmu pengetahuan terlahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud aqidah Islam sebagai asas adalah dengan menjadikan aqidah Islam sebagai standar penilaian. Dengan kata lain, aqidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolok ukur pemikiran dan perbuatan. Hal ini tentu berbeda dengan penyelenggaraan kebijakaan sistem Kapitalisme yang memberikan kebebasan sebesar-besarnya untuk berekspresi dan berbicara sebagai dasar pengelolaan intelektualitasnya.

Sistem Islam memiliki regulasi yang khas dalam mengatur perkembangan iptek. Dari sudut pandang khasnya tersebut, kebijakan negara dalam memutuskan keberlanjutan riset iptek merupakan langkah awal sebelum hasil riset nantinya dikonsumsi masyarakat. Hal ini semata-mata untuk menjaga aqidah masyarakat dari infiltrasi pemikiran yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Pengkajian tentang kloning pada manusia misalnya, riset ini tidak akan pernah dibuka mengingat bertentangan dengan nash-nash nashab. Hal serupa, teori evolusi Darwin juga tidak akan dipelajari atau dikembangkan sebagai sebuah kebenaran.

Tidak jarang, dalam lintasan sejarah Khilafah Islam, berbagai inovasi di bidang iptek dimotori oleh penerapan syari’at Islam. Sebut saja penemuan mesin pompa hidrolik oleh ahli mekanik Islam al Jazari dalam bukunya al-Jami’ bayn al-’ilm wa ’amal, al-nafi’ fi sina’at al-hiyal. Mesin ini dirancang untuk mengangkat air tanah di antaranya untuk keperluan wudhu.

b. Jaminan Hak Dasar Anggota Masyarakat
Berbeda halnya dengan sistem kapitalis yang melakukan berbagai regulasi untuk mendatangkan modal– yang tak jarang memarginalkan sebagian besar masyarakat bawah-, sistem Islam menegasikan pembatasan-pembatasan yang justru membuat hasil karya anggota masyarakat, terutama penelitian di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tak terjangkau oleh masyarakat bawah.

Di sisi lain, Negara Khilafah juga berperan dalam pemberian penghargaan kepada para ulama’ dan ilmuwan atas hasil jerih payahnya mengarang kitab atau publikasi ilmiahnya. Sejarah mencatat bahwa Khalifah al Makmun pernah memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang ia salin ke dalam bahasa arab dengan ukuran yang sama beratnya. Argumentasi ini sekaligus merupakan pukulan telak bagi pihak yang melegalkan HaKI dengan alasan akan menjaga pemiliknya (pengarang) dari kerugian finansial atas pemakaian karyanya oleh pihak lain untuk kepentingan komersial. Justru kebijakan HaKI oleh negara-lah yang menunjukkan lepas tangannya negara atas hasil kekayaan intelektual seseorang (baca : minim reward).

Pengelolaan kekayaan intelektual beririsan dengan sistem pendidikan yang diberlakukan negara. Metode pembelajaran Islam mendorong pengkajian ilmu untuk diterapkan dalam kehidupan. Wal hasil, orientasi pencerapan ilmu pengetahuan maupun tsaqafah Islam adalah untuk diterapkan dalam kehidupan. Dengan sendirinya hal ini telah menjadi pilar awal inovasi iptek. Di samping itu, ketetapan syari’at Islam telah mewajibkan setiap laki-laki bekerja (bagi yang mampu) sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan primernya, berikut kebutuhan pihak-pihak yang menjadi tanggungan nafkahnya. Sedangkan tidak terlaksananya kewajiban tersebut akibat tidak terenyamnya pendidikan, maka menjadikan pengadaan sistem pendidikan oleh pemerintah merupakan keharusan yang harus dipenuhi (terjangkau bahkan gratis bagi masyarakat). Dengan demikian, berbagai regulasi yang memunculkan kesulitan akses pengetahuan di tengah masyarakat jelas bertentangan dengan konsep dasar tersebut.

c. Tradisi Penjagaan Literatur
Sepeninggal Rasulullah SAW, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan seterusnya senantiasa menjaga aspek ketertelusuran data sabda Rasulullah, atau yang biasa kita kenal dengan periwayatan hadits. Tidak hanya dalam masalah aqidah dan syari’at, kebiasaan penulisan dan pencantuman ini juga dilakukan pada karya-karya ilmu pengetahuan lainnya. Sebut saja kitab Oseanografi karya Ibnu Majid, yang selain didasarkan pada pengalaman dirinya sendiri selaku navigator, juga dipadukan dengan teori-teori navigasi yang diperoleh melalui kitab-kitab para pendahulunya. Beberapa kitab yang menjadi rujukan dalam penulisan karya-karyanya tersebut antara lain kitab al-Mabadi wa al-Gayah fi Ilm al-Miqat atau kitab pengantar lengkap tentang waktu karya Abu Ali Hasan bin Umar al-Marakussi al-Magribi (wafat 660H/1262 M), kitab Surah al-Ard atau peta bumi karya Ibnu Hawqal (wafat 365 H/975 M), dan kitab al-Musytarik atau kitab tentang penanggalan karya Yaqut al-Hamawi (wafat 626/1229 M). Tradisi ini terus berlanjut hingga berakhirnya Khilafah 1924.

Dengan demikian, pencantuman sumber literasi sesungguhnya adalah hal yang terpisah namun disatukan oleh ideologi Kapitalisme dalam industri hak ciptanya, sebagai bumbu pelegalan regulasi HaKI. Pencantuman literasi bahkan hampir-hampir merupakan sesuatu yang alami ketika seseorang mengeluarkan pernyataan, sebagai penguat argumentasinya.

Adapun tentang merk sebagai pembeda suatu produk, maka hal ini adalah perkara yang mubah. Ini pun merupakan sesuatu yang thabi’i (alami) ketika seseorang menghasilkan suatu barang atau barang jasa. Misal, sebuah bus yang dimiliki seseorang dengan rute Surabaya – Jakarta, tentu pemilik menginginkan para penumpangnya mengenal nama bus-nya agar pada perjalanan berikutnya, sang penumpang kembali dengan mudah menggunakan jasanya. Dalam hal ini, negara hanya perlu melakukan pendaftaran semata agar tidak tumpang tindih antarpengusaha.

Kesimpulan
  1. Realitas sejarah kemunculan konsep hak cipta mengindikasikan lemahnya pemenuhan hak dasar masyarakat – khususnya dalam pendistribusian kekayaan intelektual (via pendidikan) – oleh negara.
  2. Perkembangan regulasi HaKI semenjak Piagam Berne hingga dicetuskannya Konvensi Hak Cipta Dunia (UCC) menunjukkan dengan jelas liberalisasi sektor publik yang bermuara pada kepentingan ekonomi pemilik modal (pengusaha).
  3. Dalih untuk mencegah pembajakan dan plagiarisme di balik regulasi HaKI pada sistem Kapitalisme sesungguhnya mencerminkan kepentingan ekonomi untuk mengamankan kekuatan para pemodal.
  4. Islam mendasarkan pengelolaan kekayaan intelektual berbasis aqidah Islam. Segala bidang kajian maupun perkembangan temuan diselaraskan dengan syari’at Islam sebagai penentu keberlanjutan pengembangan iptek.
  5. Negara sebagai institusi pengelola kepentingan rakyat menegasikan berbagai regulasi yang menyulitkan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat, termasuk di dalamnya penyampaian hasil penemuan iptek.
  6. Menyangkut perkara-perkara teknis pengusahaan manusia dalam aktivitas pekerjaannya, seperti pemakaian merk dan desain khas, negara hanya melakukan pendaftaran. Hal ini semata-mata hanya untuk mencegah tumpang tindih pemakaian nama atau merk, dan bukan merupakan bagian sumber pendapatan negara.
  7. Tradisi pencantuman literatur rujukan pada suatu karya sesungguhnya merupakan perkara yang thabi’i (alami) dan universal dalam realitas sejarah peradaban manusia, sehingga merupakan fakta yang terlepas dari regulasi HaKI.
Catatan Kaki:
  1. http://en.wikipedia.org
  2. Presentasi Pemahaman Dasar HaKI, Pusat Inovasi LIPI (2006)
  3. http://en.wikipedia.org/wiki/Industrial_property
  4. UU No. 15 Tahun 2001 (http://ri.go.id)
  5. UU No. 31 Tahun 2000 (http://ri.go.id)
  6. UU No. 29 Tahun 2000 (http://ri.go.id)
  7. UU No. 32 Tahun 2000 (http://ri.go.id)
  8. Perbedaan invention dan discovery: Discovery merupakan penemuan terhadap suatu sifat baru dari suatu material atau benda yang sudah dikenal atau sudah ada sebelumnya secara alami. Sedangkan invention merupakan penemuan berupa ide yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi, yang dapat berupa proses atau hasil produksi atau penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi. Invensi dapat dipatenkan, sedangkan discovery tidak.
  9. UU No. 14 tahun 2001 (http://ri.go.id)
  10. http://www.ifrro.org/: Volume 1 No 3 May/June 1998
  11. Core copyright adalah hak cipta pada barang-barang produksi primer, seperti : industri benda bergerak (TV, teater, dan home video), industri rekaman (pita kaset, CD), industri musik, buku, industri penerbit jurnal dan majalah, industri software komputer, periklanan, radio, industri penyiaran televisi dan TV kabel.
  12. Stephen E Siwek, Copyright Industries in the US Economy The 2002 Report
  13. Peraturan Hidup dalam Islam, Taqiyuddin An Nabhani (2001)
  14. Persepsi-Persepsi Berbahaya, Abdul Qadim Zallum
  15. Lihat Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam, Abdurrahman al Baghdadi
  16. Bunga Rampai Syari’at Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (2002)
  17. www.history-science-technology.com
  18. Syakhshiyyah Islamiyyah Juz I, Taqiyuddin an Nabhani (2003)
  19. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Taqiyuddin an Nabhani (2002)
  20. Republika.co.id