Translate

Sunday 14 June 2015

Leaderless Group Discussion (LGD) LPDP - Part 2

Tulisan bagian kedua ini berbeda dengan bagian pertama. Bagian pertama lebih menonjolkan definisi LGD; sedangkan bagian kedua ini lebih menekankan pada bagaimana isi dari argumentasi kita dalam memecahkan dan merumuskan masalah.


Saya kebetulan mendapatkan materi diskusi "Kontrak karya PT. Freeport, layakkah diperpanjang". Dari kedelapan anggota LGD, semua sepakat untuk memperpanjang KECUALI saya. Mereka beralasan:
  • Kita akan dikucilkan dunia jika kita menghentikan aktivitas PT. Freeport, 
  • Perpanjangan tidak masalah asalkan dibarengi dengan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat lokal. 
Saya sendiri berargumentasi sebaliknya, yakni
  • Diperlukan kajian mendasar atas potensi SDA kita, khususnya di Papua; jangan sampai kita perpanjang 20-40 tahun lagi dan dengan pembagian divestasi saham yang sangat tidak adil tersebut, emas kita habis dan kita tak dapat apa-apa; padahal seandainya kita diamkan 10-15 tahun lagi dan kita memampukan diri dari sisi SDM dan teknologi, maka yang kita dapatkan jauh lebih besar.
  • Jangan tertipu dengan pemberdayaan SDM lokal kalau hanya dijadikan sebagai kuli lapangan. Selama tidak ada alih teknologi dan peningkatan kualitas SDM, maka ini adalah bentuk perbudakan.
  • Untuk itulah kita di sini, mendapatkan beasiswa untuk membangun negeri. 10-15 tahun ke depan maka kita berharap bisa mengubah kondisi tersebut.
  • Nasionalisasi tambang PT. Freeport, moratorium eksplorasi, dan siapkan SDM-teknologi 10-15 tahun ke depan.
Dari kedelapan anggota LGD, kalau saya tidak salah ada dua orang yang lulus LPDP, dan salah satunya adalah saya. Alhamdulillah...

Dari pengalaman saya tersebut, setidaknya ada 3 poin yang bisa saya ambil pelajarannya:

Jadilah diri sendiri
Dalam hal ini saya menyarankan teman-teman untuk memegang prinsip yang diyakini, terutama prinsip-prinsip dasar/ideologis yang sudah mapan dalam mindset kita. Jangan takut berbeda dengan mainstream pendapat anggota kelompok diskusi kita. Justru berbedanya pendapat kita dengan mainstream, tapi mampu kita kemas dengan argumentasi idealis nan logis akan membuka cakrawala pemerhati diskusi. Apalagi motto LPDP ingin menciptakan generasi emas 2045; kacamata kita harus idealis BUKAN pesimis.

Solusi sistematis dan terukur
Saat memasuki ruangan LGD, kita akan mendapat selembar kertas berisi berita/informasi yang akan dimintakan kepada kita solusinya. Perspektif pendapat yang diminta ada beberapa, yakni dalam kacamata: (1) akademisi, (2) aktivis, (3) masyarakat umum, (4) pengambil kebijakan/anggota dewan, misalnya. Dari empat kategori ini tentu kita bisa memetakan sejauh mana dan tipe seperti apa masing-masing orang tersebut dalam memberikan argumentasi. Akademisi, tentu akan menguak tinjauan untung-rugi dengan data-datanya. Tak perlu memusingkan, 'wah saya belum pernah baca data ini itu...' cukup perhatikan di lembar kasus yang diberikan, di sana biasanya ada angka-angka data. Kita bisa kupas angka itu. Misal, nilai kontrak karya PT. Freeport yang sangat kecil bagi negeri kita. Kita bisa bahas dari sisi signifikansinya bagi rakyat.

Kaitkan perspektif pendapat kita dengan urgensi beasiswa LPDP
Saya kira akan menjadi kesimpulan yang telak ketika kita mengusung isu 'perubahan' dalam setiap argumentasi kita. Jangan takut berbeda dan jangan takut bersolusi ideologis. Ingat jangka bangsa ini menikmati kesuksesan kita adalah jangka menengah dan jangka panjang, tahun 2045. Sehingga tawaran solusi kita yang sistematis dan mendasar juga sangat penting dalam merevolusi mental negeri ini.

Selamat berjuang kawan!

Friday 12 June 2015

Tips Penulisan Essay LPDP

Tulisan ini saya bagikan setidaknya berdasarkan atas essay yang sudah saya buat, yang alhamdulillah berhasil meloloskan saya sebagai awardee LPDP. Akan saya tuangkan tips-tipsnya dalam empat poin berikut:

Hindari kata-kata/kalimat yang bertele-tele
Dengan jumlah kata yang dibatasi, jika pengalaman hidup anda begitu panjang, masih sempatkah kita menguraikan kata-kata mutiara yang sejatinya merupakan buah pengalaman hidup orang lain. Justru terlalu banyak mengutip atau mendefinisikan apa itu "kesuksesan terbesar", misalnya, akan terlihat kalau kita kekurangan kata untuk memenuhi "kuota" kata... ini dalam perspektif saya lho..

Bayangkan kembali masa kecil hingga dewasa, temukan sisi dramatisnya
Kita ingin menyentuh dan mempengaruhi perasaan dan pemikiran orang lain. Dalam hal ini adalah agar orang lain/reviewer mengenal kita sehingga kita harus menonjolkan sisi kelebihan kita. Bagaimana menyentuhnya? ya tentu dengan mengungkap sisi-sisi 'besar' atau titik balik yang mengubah signifikan hidup kita. Cek contohnya saja ya... essay kesuksesan terbesar dalam hidupku

Tunjukkan bukti, bukan sekedar janji...
Pernah publikasi jurnal/paper? tunjukkan kita adalah orang yang produktif. Pernah terlibat dalam aktivitas yang menunjang perkembangan karir dan studi? maka tuangkan. Tunjukkan kita manusia yang aktif dan produktif, dan manfaat. Menurut saya, sisi ini harus dimunculkan. Jika Anda lolos seleksi administratif, maka essay adalah yang akan dibaca ulang oleh pewawancara dan akan dikonfirmasi dan digali lagi dari kita. Jadi, pengalaman realitas akan dengan mudah kita uraikan jika kita memang menjiwai aktivitas kita...

Tunjukkan kaitan rencana hidup kita bagi negeri ini dengan apa yang akan kita pelajari selama studi nanti
Kata kuncinya adalah urgensi bidang keilmuan yang kita tekuni. Tunjukkan sisi urgennya, apakah itu keterbatasan jumlah expertise, masih ketertinggalan sains-teknologi, dsb. Perlu juga disinggung kejelasan studi dan sejauh apa kita telah mempersiapkan keberangkatan kita untuk studi. Cek contohnya ya... essay peranku bagi Indonesia

That's all..., empat poin dasar itu setidaknya yang mendasari saya dalam menulis essay LPDP. Semoga sukses dan berkah kawan!

Thursday 11 June 2015

ESSAY: Kesuksesan Terbesar dalam Hidupku



Dibesarkan oleh Ibu selepas ditinggal cerai Bapak sejak kelas 3 SD tidak menjadikan saya putus harapan dan minder. Saya bertekad membuktikan bahwa dibesarkan dari keluarga broken home bukan berarti broken pula masa depannya. Keinginan kuat untuk membahagiakan ibunda setidaknya memotivasi saya untuk mengubah keadaan dan membuat beliau tersenyum bangga akan jerih payah beliau. Menjadi peneliti di lembaga penelitian negara adalah impian saya semenjak di bangku SMU. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebuah institusi yang begitu masyhur di kalangan akademisi. Nama besar lembaga ini yang sejak SMU menjadi salah satu incaran dunia kerja, dan menjadi panduan saya dan teman-teman untuk memilih program studi di perguruan tinggi. 

Berniat mendedikasikan diri di bidang riset, saya pada akhirnya memutuskan kuliah di jurusan Fisika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Setelah menyelesaikan masa studi Sarjana tepat waktu selama empat tahun, dengan IPK 3,21; saya pun mendaftarkan diri sebagai Staf Peneliti di LIPI. Prof. Dr. Darminto, yang menjadi pembimbing skripsi saya di jurusan Fisika ITS saat itu menyarankan saya agar mendedikasikan hidup untuk bekerja di dunia akademik dan penelitian. Beliau pun mendukung sepenuhnya niat saya untuk bergabung di LIPI. Beliau juga menyampaikan, di LIPI, kesempatan saya untuk bisa melanjutkan studi juga besar. Demikian juga kontribusi pada dunia ilmu pengetahuan di Indonesia juga bisa lebih besar.


Gambar. Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta.

Bersaing dengan, ribuan pendaftar secara online di tahun 2005, tidak menyurutkan tekad saya untuk melalui tahap demi tahap proses seleksi (verifikasi administrasi, tes tulis, tes wawancara dan psikologi). Sebagaimana ditampilkan perkembangan tahap demi tahap seleksi di situs: https://cpns.lipi.go.id/cpnslama/, memasuki seleksi  administrasi, pelamar yang lolos verifikasi administrasi sebanyak 21.372 pelamar, dan saya termasuk ke dalam pemeringkatan 19.246 pelamar terbaik yang akan mengikuti tes tulis. Pada akhirnya, saya pun menjadi bagian dari 943 pelamar yang berhasil lolos tes tulis, dan siap berkompetisi di tes wawancara dan tes Psikologi. Menyisakan bagian terakhir dari tes seleksi, yakni tes psikologi, saya harus bersaing dengan 943 putra-putri terbaik Indonesia kala itu. Pada akhirnya, tibalah saat pengumuman hasil penerimaan pegawai LIPI, dan saya menjadi bagian dari 268 pelamar yang diterima di LIPI. Tahun 2005 adalah tahun pertama LIPI menggelar penerimaan pegawai secara on line, maka wajar jika pendaftar saat itu membludak. LIPI saat itu membutuhkan Peneliti di bidang Oseanografi Fisika pada Pusat Penelitian Oseanografi yang berkampus di daerah Ancol, Jakarta Utara. Saya ditempatkan di Laboratorium Oseanografi dan Iklim. Laboratorium kami ternyata belum memiliki staf yang berlatar belakang akademik S3. Kondisi inilah yang setidaknya mendorong saya untuk mengubah keadaan dengan melanjutkan studi ke jenjang S2.

Saya pada akhirnya berkesempatan melanjutkan studi S2 setelah lolos seleksi Program Karyasiswa Kementerian Riset dan Teknologi. Akhirnya saya diterima untuk studi S2 pada Program Studi Ilmu Kelautan IPB. Di sana saya dipertemukan dan dibimbing oleh pakar oseanografi Indonesia yang sebelumnya sudah saya kenal melalui publikasi-publikasi beliau. Beliau adalah Prof. Dr. Mulia Purba dan Dr. Agus Atmadipoera. Studi S2 Oseanografi Fisika pun saya lalui dalam tempo 2 tahun, dengan capaian IPK 3,91.

Di akhir masa studi, Dr. Agus Atmadipoera menyarankan saya untuk melanjutkan studi S3 di bidang Oseanografi Fisika dengan topik percampuran massa air. Topik yang belum banyak dikaji di Indonesia. Beliau kemudian menunjukkan satu perguruan tinggi terbaik dunia, Université Pierre et Marie Curie (UPMC), Prancis. Hingga akhirnya saya diterima sebagai calon mahasiswa doktorat oleh UPMC dengan Prof. Pascale Bouruet-Aubertot, sebagai supervisor saya selama menempuh studi S3 nantinya.

Semoga Allah SWT mudahkan langkah demi langkah saya untuk menjadikan pribadi, keluarga, dan bangsa ini menjadi lebih baik, amin.