Fenomena ‘buruk’ di atmosfer
Perairan laut dangkal dan perairan laut dalam memberikan respon yang berbeda terhadap penyinaran sinar matahari. Laut Jawa, yakni perairan di sebelah barat kepulauan Masalembo, merupakan perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata kurang dari 50 meter, sedangkan perairan di sebelah timurnya merupakan perairan laut dalam dengan kedalaman lebih dari 500 meter, yakni Laut Flores.
Di perairan laut dangkal, intensitas penyinaran matahari akan memungkinkan pemanasan kolom air yang lebih cepat dibandingkan dengan perairan laut dalam akibat intensitas matahari yang mencapai dasar perairan, sehingga suhu perairan akan relatif lebih hangat. Dampak lebih lanjut adalah laju penguapan dan potensi terbentuknya awan di perairan laut dangkal akan lebih intensif dibandingkan di perairan laut dalam.
Menghangatnya perairan yang diikuti dengan menghangatnya lapisan atmosfer di atasnya, dan diikuti meningkatnya tutupan awan sebagai dampak dari penguapan pada akhirnya akan menghasilkan tekanan udara yang lebih rendah dibandingkan di atas perairan laut dalam yang lebih tinggi. Perbedaan tekanan udara yang secara tiba-tiba inilah yang menghasilkan fenomena turbulensi ketika pesawat udara melintasinya.
Batas pertemuan keduanya di wilayah Indonesia adalah di perairan Masalembo. Tingkat kefatalannya, yakni seberapa besar turbulensi yang bisa terbentuk, sangat ditentukan dengan pola pembentukan awan di wilayah ini. Pada musim barat yakni pada bulan Desember, Januari, Februari, Maret; yang dikenal sebagai musim hujan, pembentukan awan hujan akan lebih intensif terbentuk di wilayah Indonesia bagian barat.
Selain turbulensi akibat perbedaan tekanan udara karena tutupan awan, potensi turbulensi juga dapat terjadi akibat perubahan besar dan arah kecepatan angin yang jamak terjadi saat memasuki Musim Peralihan, baik dari Musim Barat ke Musim Timur (April-Mei), maupun dari Musim Timur ke Musim Barat (Oktober-November). Perpaduan antara kedua fenomena yang dipicu pengaruh angin musim inilah yang menjadikan perairan Masalembo unik dan berpotensi mengurangi kenyamanan penerbangan.
Fenomena ‘buruk’ bawah air
Perairan Indonesia merupakan penghubung Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia, yang mengalirkan massa air dari Pasifik menuju Hindia (Arus lintas Indonesia, Arlindo) akibat lebih tingginya muka laut Samudera Pasifik dibandingkan dengan ketinggian muka laut Samudera Hindia. Di samping melalui Selat Makassar, Arlindo juga mengalir melalui perairan Laut dangkal, laut Jawa; yang dibawa dari Laut China Selatan.
Kedua arus ini selanjutnya bertemu di wilayah segitiga Masalembo, sehingga menimbulkan pengacakan arus dan turbulensi yang disinyalir tidak hanya menghasilkan pusaran/eddy secara horizontal namun juga secara vertikal. Dampaknya hal ini akan mengurangi kenyamanan moda transportasi laut, terutama untuk kapal-kapal bertonase kecil. Pada musim barat, arus dari Laut Jawa akan menguat, sehingga diperkirakan intensitas turbulensi di wilayah ini juga akan lebih intensif.
‘Surga’ di Perairan Masalembo
Di balik ‘garangnya’ wilayah perairan Masalembo, sejatinya perairan ini menyimpan potensi kekayaan laut yang luar biasa, sebagai perairan tersubur di Indonesia yang kaya akan potensi perikanan tangkap. Dua fenomena oseanografi fisika yang terjadi di Perairan Masalembo yang mendukung hal tersebut adalah upwelling, turbulensi (pergolakan) vertikal-horizontal.
Upwelling adalah proses penaikan massa air dari lapisan bawah menuju lapisan atas di mana ikan-ikan pelagis berada. Proses ini terjadi akibat hembusan angin Musim Timur yang memasuki puncaknya pada bulan Juni, Juli, agustus.
Di dekat pesisir Pantai Makassar, hembusan angin ini akan mengakibatkan perpindahan massa air lapisan atas di dekat pesisir Makassar bergerak menuju laut lepas; yang diikuti dengan naiknya lapisan air lapisan bawah yang menggantikannya. Sifat massa air dari lapisan bawah yang naik ke permukaan ini adalah lebih dingin dan memiliki kandungan nutrien yang tinggi.
Dampaknya, lapisan air bagian atas akan menjadi subur karena pasokan nutrien tersebut. Nutrien sangat penting bagi pertumbuhan fitoplankton (tumbuhan renik laut), di mana melimpahnya fitoplankton akan diikuti dengan melimpahnya zooplankton (hewan renik seperti larva udang) yang memangsanya. Zooplankton inilah yang selanjutnya dimangsa oleh ikan-ikan benilai ekonomis. Arus dari Laut Jawa dan Arlindo selanjutnya menjadikan proses upwelling yang pada awalnya hanya di selatan Makassar meluas hingga mendekati Pulau Flores.
Fenomena kedua yang menunjang suburnya perairan Masalembo adalah fenomena turbulensi vertikal. Fenomena ini berpotensi terjadi di dua titik di segitiga Masalembo, yakni di sebelah utara Pulau Kangean dan di sebelah barat Ujungpandang (Ambang Dewakang). Di sebelah utara Pulau Kangean, perubahan kedalaman laut yang drastis berakibat pada bervariasinya struktur vertikal arus laut.
Dampaknya, terbentuklah turbulensi vertikal yang selanjutnya terjadi pengadukan dan pengangkatan lapisan dekat dasar perairan yang kaya akan nutrien, yang berpotensi meningkatkan produksi perikanan tangkap. Di ambang Dewakang, tersandungnya Arlindo oleh ambang (tonjolan bukit bawah laut) juga menghasilkan turbulensi vertikal yang berdampak pada penyuburan massa air lapisan atas.
No comments:
Post a Comment